Analisis Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) Belanda Terhadap
Kasus Rawagedeh (Balongsari) dalam Putusan Pengadilan Negeri Den Haag Menurut
Hukum Internasional.
Pada
tahun 2011, sejarah kolonialisme Belanda kembali ke muka Pengadilan Negeri Den
Haag, Pengadilan Negeri Den Haag mengeluarkan
putusan atas gugatan
warga negara Indonesia dalam
kasus Rawagedeh yang diselesaikan berdasarkan hukum acara perdata. Kasus
Rawagedeh yang dibawa ke Pengadilan Negeri Den Haag mengingatkan kembali pada
peristiwa yang melibatkan masalah-masalah kolonialisme Belanda terhadap
Indonesia. Akan tetapi, secara fundamental kasus ini berbeda dari kasus-kasus
klaim historis lainnya terkait dengan ketidakadilan (injustice) pada masa lampau.
Klaim
terhadap kasus-kasus historis tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan
paradigma perbaikan atas sebuah tindakan seseorang (individual perpetrator) dengan korbannya (individual victim), adanya
jumlah kerugian yang dapat dibuktikan (provable
quantifiable loss) dan hubungan langsung terhadap kausalitas. Lebih lanjut,
dalam kasus ini terdapat prinsip hukum intertemporal. Prinsip hukum
intertemporal dalam hukum internasional dikenal
sebagai sebuah prinsip yang menyatakan bahwa terkait dengan
peristiwa-peristiwa, setidaknya diselesaikan dengan hukum yang berlaku pada
saat peristiwa tersebut terjadi. Sehingga sebagai akibatnya, kasus Rawagedeh
ini rentan dikaitkan dengan prinsip retroaktif dalam penyelesaiannya.
Pembantaian
yang terjadi di Desa Rawagedeh terjadi setelah Agresi Militer Belanda yang pertama dengan tujuan untuk
mencari pelaku pemberontakan yang bersembunyi di desa Rawagedeh, kemudian para
penduduk sipil laki-laki di desa tersebut dieksekusi tanpa adanya proses
peradilan terlebih dahulu. Tindakan Belanda yang dilakukan di Rawagedeh
mendapatkan kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan itu dinilai
sebagai tindakan yang‘disengaja dan kejam (deliberate
and ruthless).
Percobaan
pertama untuk menggugat Belanda terkait pembantaian di Rawagedeh dilakukan pada
tahun 2008. Dalam gugatan perdata, sembilan orang mengajukan klaim gugatan yang
didasarkan pada dua hal, yaitu: Pertama, tindakan eksekusi yang ditujukan
kepada para suami dan ayah penggugat merupakan tindakan melanggar hukum, dan
Kedua, bahwa keputusan untuk tidak melakukan penyidikan dan mengadili pelaku
tindakan eksekusi juga merupakan perbuatan melawan hukum. Kemudian dalam
putusannya, Pengadilan Negeri Den Haag
menyatakan bahwa tentara Belanda waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan
melanggar hukum terhadap warganya sendiri dan bukan terhadap warga Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta yang dimiliki
dalam peristiwa Rawagedeh,
perkara ini dianggap merupakan perkara yang penting untuk
dilihat dari segi hubungan internasional antara negara kolonial dengan negara
bekas jajahannya Jika dilihat dari
vonis putusan pengadilan Belanda terhadap pemerintah Belanda, vonis perkara
Rawagedeh juga menciptakan sejarah baru.
Analisisnya:
Dalam
hukum internasional, tanggung jawab negara (state
responsibility) muncul pada saat terjadi pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban internasional (primary rules). Tanggung jawab tersebut wajib
diberikan kepada pihak-pihak yang dirugikan atas pelanggaran yang telah
dilakukan oleh suatu negara. Salah satu bentuk tanggung jawab negara (state responsibility) dapat dilihat
dalam putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Den Haag, Belanda, pada
tahun 2011 terkait dengan peristiwa Rawagedeh yang terjadi pada tahun 1947 dan
bertempat di Karawang, Jawa Barat. Meskipun kasus ini diputus oleh Pengadilan
Negeri Den Haag, Belanda, namun kasus
ini merupakan salah satu kasus yang menunjukkan bahwa telah terjadi
pelanggaran atas kewajiban-kewajiban internasional yang bersifat publik.
ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB
NEGARA TERHADAP DAMPAK RADIASI NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus
Radiasi Nuklir Jepang Pasca Gempa Dan Tsunami)
Kasus
terbaru mengenai pencemaran nuklir yang terjadi barubaru ini adalah kebocoran
pada Bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi di
Sendai, Jepang. Kebocoran ini berawal dari terjadinya gempa berkekuatan 9,0 Skala
Richter disusul gelom- bang Tsunami setinggi 10 meter.
Kebocoran
reaktor nuklir ini menyebabkan bencana baru yaitu radiasi nuklir yang sangat mengkhawatirkan
bukan hanya bagi masyarakat Jepang namun juga bagi negara-negara tetangganya.
Badan Keselamatan Nuklir yang menangani masalah nuklir di Jepang mengatakan bahwa
radiasi nukir yang diakibatkan gempa dan tsunami itu telah menyebabkan kerugian
materil yang sangat besar yakni Rp 2.068 Triliun.
Radiasi
nuklir tersebut juga menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan, terutama
lingkungan laut. Informasi terakhir menyebutkan bahwa laut Pasifik yang menjadi
salah satu batas wilayah dengan Korea Selatan sudah tercemar radiasi nuklir.
Pencemaran itu diduga kuat terjadi ketika para petugas pemadam kebakaran dan para
teknisi nuklir Jepang akhirnya menggunakan air laut untuk mendinginkan reaktor.
Korea Selatan telah menyampaikan protes atas keputusan Jepang membuang air
radioaktif ke laut dalam upaya menstabilkan PLTN Fukushima. Adapun volume air radiaktif
yang dibuang ke laut Pasifik mencapai lebih dari 10.000 ton dengan level
radiasi 500 kali di atas normal. Seorang pejabat Korea Selatan mengatakan,
”bahwa jarak antara kedua negara yang dekat membuat kami khawatir dengan air radiaktif
yang di buang ke laut.
Kebocoran
reaktor nuklir yang sangat besar dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi
banyak pihak termasuk bagi negara lain, dimana hal ini sekaligus akan memunculkan
suatu pertanggungjawaban negara.
Analisisnya:
Berdasarkan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa sejauh menyangkut bencana alam Jepang tidak
dapat dibebankan tanggung jawab atas kerugian yang timbul karena radiasi. Akan
tetapi atas kebijakan pemerintah Jepang yang mengijinkan pembuangan limbah nuklir
ke laut, Jepang dapat diminta pertanggungjawaban.
Salah
satu bentuk tanggungjawab yang bisa dilakukan oeh Jepang adalah dengan
memberikan ganti rugi. Adapun bentuk-bentuk ganti rugi, yaitu: 1. Restitusi; 2.
Kompensasi; 3. Pemuasan (Satisfaction).
Restitusi adalah membangun kembali situasi seperti semula tindakan melanggar
hukum internasional dilakukan. Kompensasi adalah ganti rugi terhadap kerusakan yang
disebabkan tindakan melanggar hukum internasional, dan kompensasi tersebut
harus mencakup kerusakan financial termasuk kemungkinan hilangnya keuntungan.
Pemuasan
atau Satisfaction adalah kewajiban untuk memberikan kepuasan bagi negara yang
dirugikan dimana restitusi dan kompensasi tidak dapat memperbaikinya. Pemuasan
dapat berupa pengakuan tentang pelanggaran, ungkapan penyesalan, dan permintaan
maaf secara formal atau dengan cara lain.
Sikap
yang diambil oleh pemerintah Jepang dalam pemenuhan kewajiban
pertanggungjawabannya adalah dengan memberikan kompensasi dan pemuasan, yaitu
melalui undang-undang untuk membentuk badan yang didukung negara yang akan
membayar ganti rugi kerusakan senilai puluhan miliar dolar bagi korban bencana
nuklir Fukushima. Berdasarkan UU tersebut, operator Fukushima Tokyo Electric
Power Company (TEPCO) dan perusahaan tenaga atom lain juga akan membayar dana
itu yang akan dibagikan kepada korban sebagai kompensasi. Pemerintah Jepang
juga memberikan pemuasan (satisfaction) yang dilakukan dengan permintaan maaf oleh
Pejabat Jepang kepada semua korban atas pembuangan 11.500 ton air radioaktif ke
laut Pasifik.
Sumber:
Starke,
J.G. 2003. Pengantar Hukum Internasional.
Jakarta: Sinar Grafik.
Thantowi,
Jawahir dan Pranoto Iskandar.Hukum
Internasional Kontemporer. 2006. Bandung: Refika Aditama.
Wallace,
M Rebecca.1993. Hukum Internasional.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Convention
on Nuclear Safety (Konvensi tentang Keselamatan Nuklir).
Convention
on The Physical Protection of Nuclear Material(Konvensi Tentang Perlindungan
Fisik Bahan Nuklir).
The
Resposibility of States for Internationally Wrongful Acts.
Komentar
Posting Komentar