Sejarah panjang perjuangan kemanusiaan di berbagai kawasan menunjukkan bahwa untuk membangun peradaban baru dengan dasar kemanusiaan tidaklah mudah. Pelanggaran terhadap hak asasi masih terus terjadi di berbagai belahan dunia karena adanya pihak-pihak yang bekerja sama dengan para pelaku, baik langsung maupun tidak langsung. Struktur yang ada, baik lokal, nasional maupun internasional belum benar-benar menjadikan prinsip hak asasi sebagai dasar yang ditaati secara konsisten. Padahal, sejak 10 Desember 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disepakati oleh seluruh anggota PBB sebagai norma dan dasar pijakan hukum internasional.
Selanjutnya, berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) telah disepakati sebagai panduan bersama penegakkan HAM. Perkembangan wacana konsep HAM melalui instrumen-instrumen tersebut kadangkala memunculkan isu-isu sulit, seperti kedaulatan nasional, universalisme dan partikularisme, gender, hak anak sampai pada isu tentang mana yang lebih penting antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Merefleksi sejarah regulasi hukum HAM (DUHAM) yang menjadi rujukan internasional ternyata telah dilalui selam 60 tahun lebih. Regulasi hukum HAM ini dibentuk setelah disepakati bersama oleh negara-negara di dunia. Kemudian oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 mengumumkan mengenai Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) tersebut melalui resolusi 217 A (III). DUHAM inilah kemudian menjadi landasan utama penegakan hukum HAM di dunia termasuk Indonesia. Terdapat 30 pasal regulasi substansi HAM dalam DUHAM ini dalam konteks basic rights (hak-hak dasar), dan basic needs (kebutuhan dasar).
Selanjutnya, pada tanggal 16 Desember 1966, melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi oleh negara-negara anggota PBB dibentuk dua konvenan yaitu, pertama, International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Konvenan ini dibagi ke dalam enam bagian dan 53 pasal, dimana mengatur substansi hak-hak sosial dan politik. Berdasarkan DUHAM dan kedua konvenan inilah selanjutnya, negara-negara yang menjadi anggota PBB terikat untuk mengimplementasikan, sesuai dengan aturan dan kedaulatan negaranya. Untuk menjalankannya, terlebih dahulu negara para pihak termasuk Indonesia melakukan ratifikasi (mengundangkannya) ke dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks Hukum HAM Internasional, memamng terdiri dari kumpulan aturan, prosedur, dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap HAM di semua negara di seluruh dunia. Namun demikian, sekalipun HAM Internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur, dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negeri yang terkait dari negara-negara dimana praktisi hukum mempunyai kepentingan - khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada HAM. Memang, karena hukum internasional pada umumnya hanya bisa diterapkan pada negaranegara dan biasanya tidak menciptakan hak-hak yang dapat diberlakukan secara langsung oleh para pribadi dalam pengadilan nasional, hukum HAM Internasional dalam praktek dapat dibuat efektif hanya kalau setiap negara membuat aturanaturan ini menjadi bagian dari sistem hukum domestiknya sendiri.
Inti paham HAM adalah Pertama bahwa HAM secara kodrati inheren atau melekat, universal mengacu bahwa HAM itu tanpa pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa, atau status sosial lainnya dan tidak dapat dicabut; hakhak itu dimiliki oleh individu semata-mata karena mereka adalah manusia ciptaanNya bukan karena mereka adalah warga negara suatu negara. Kedua, perlindungan efektif terhadap HAM terdapat dalam kerangka batas-batas legitimasi yang demokratis. Ketiga, batas-batas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-undang sebagai bagian dari konsep negara hukum yang bermakna bahwa hak harus dilindungi oleh undang-undang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak-hak individu, pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional. Selanjutnya, Thomas Paine, juga mengatakan: “Tetapkan hak-hak asasi manusia, junjung tinggi kesetaraannya, jangan biarkan ada hak-hak istimewa. Tidak ada perbedaan karena kelahiran, dan tidak ada monopoli. Selamatkan kebebasan industri dan perdagangan, serta pembagian warisan keluarga secara adil.
Pandangan ini melihat HAM sebagia nilai-nilai universal sebagaimana dokumen-dokumen HAM Internasional, seperti the International Bill of Human Rights. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju, dimana bagi Negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif karena menerapkan HAM sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of judgement). Contohnya, country report dari Kedubes Amerika Serikat. Demikian pula salah satu pernyataan yang tersurat dan tersirat dalam Summary of Bangkok NGO Declaration (Bangkok:1993), antara lain menyatakan: “As human rights are of universal concern and are universal in value, the advocacy of human rights cannot be considered to be an encroachtment upon national sovereignity. Artinya, ketika hak-hak asasi manusia menjadi perhatian dan berharga serta bersifat universal, pembelaan hak-hak asasi manusia tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kedaulatan nasional.”
Pandangan Universal Relatif. Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal. Namun, pengkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum nasional tetap diakui keberadaannya. Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights (UDHR), mengatakan: dalam penerapan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang dihadapkan pada suatu batasan-batasan tertentu yang ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk melindungi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebesan orang lain dan memenuhi syarat-syarat yang adil dari segi moral, norma masyarakat, dan kesejahteraan umum dalam dalam masyarakat demokratis.
Pada dasarnya bangsa Indonesia memiliki pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari nilai agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bangsa Indonesia mengakui bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat dan sebaliknya, masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing memiliki hak dasar. Setiap individu, disamping mempunyai hak asasi juga kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi individu lain atau komunitas masyarakat lain. Dalam istilah Baramuli, dilihat dari sejarahnya, HAM di Indonesia merupakan pembauran antara hak kolektif dan hak orang per-orang. Secara normatif, substansi hak asasi manusia telah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik implisit maupun eksplisit. Sebelum amandemen regulasi mengenai HAM dalam UUD 1945 tidak diatur secara eksplisit dan komprehensif.
Adnan Buyung Nasution menyebutkan, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Sejumlah produk politik yang penting tentang HAM, seperti dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia joncto UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah amandemen, dengan sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undangundang tentang HAM dan peradilan HAM merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya, penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM.
Sementara, dalam konteks implementasi DUHAM dan kedua konvenan diatas setelah 57 tahun disahkan, baru pada tahun 2005 pemerintah Indonesia mengesah kedua konvenan tersebut melalui UU No.11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dilanjutkan dengan UU No.12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Jika merujuk kepada pemenuhan regulasi hukum HAM di Indonesia sampai saat ini, boleh dikatakan telah terpenuhi. Namun demikian, dalam konteks implementasi masih terdapat kendala dan kekurangannya terutama, konteks pembangunan yang berwawasan HAM.
Oleh karena itu, Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (Balitbang HAM), saat ini memfokuskan tiga kegiatan dalam kaitannya dengan Paradigma Pembangunan Nasional Berwawasan HAM. Pertama, mengidentifikasi berbagai kendala utama yang dihadapi dalam pemajuan dan perlindungan HAM melalui rights-based assesement yang berpijak pada data empiris (evidence-based target) pada setiap sektor pembangunan terutama pada kelompok sasaran yang rentan. Kedua, meningkatkan kualitas ketatapemerintahan (improving governance) baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota melalui pendekatan pembangunan yang berbasis HAM. Dan, ketiga, menetapkan dan menyajikan rekomendasi kebijakan prioritas yang diperlukan bagi proses perencanaan dan pelaksanaan reformasi di bidang pemerintahan, legislasi, politik dan budaya (holistic and systemic reforms) yang memihak kepada mereka yang lemah.
Penganut universalisme cenderung menerapkan teori positivisme dimana sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Paham ini berusaha menihilkan realitas sosial didalam masyarakat karena tujuan hukum memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat tersebut. Perspektif ini tentu memerlukan sebuah infrastruktur hukum yang sangat kuat dan saling terkait. Misalnya, petugas hukum dan produk perundang-undanganya harus benar-benar netral dari conflict of interestagar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dalam skala negara misalnya, Indonesia dan Malaysia dimasukan kedalam kelompok yang mendukung relativisme budaya bersama dengan Kuba dan negara-negara Arab seperti Iran dan Saudi Arabia. Akan tetapi mungkin sekarang posisi Indonesia telah sedikit bergeser seiring dengan adanya perkembangan perlindungan hak asasi manusia yang cukup signifikan khususnya setelah era reformasi. Meskipun tentunya ada beberapa hak asasi manusia yang belum sepenuhnya dilindungi dan dijamin di Indonesia.
Sedangkan negara-negara yang mendukung universalisme hak asasi manusia adalah negara-negara di Amerika Utara dan negara-negara di Eropa Barat sebagai penggagas konsep hak asasi manusia internasional. Di negara-negara tersebut, hak asasi manusia sudah sangat maju meskipun ada beberapa persoalan hak asasi manusia yang masih harus diperbaiki. Misalnya, kata-kata rasisme di Eropa Barat dilihat sebagai sebuah tindakan kriminal dengan ancaman hukuman penjara. Sedangkan di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, rasisme masih sering terjadi dan bahkan beberapa kali dijadikan lelucon di tempat umum dan di media massa.
Selanjutnya, berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) telah disepakati sebagai panduan bersama penegakkan HAM. Perkembangan wacana konsep HAM melalui instrumen-instrumen tersebut kadangkala memunculkan isu-isu sulit, seperti kedaulatan nasional, universalisme dan partikularisme, gender, hak anak sampai pada isu tentang mana yang lebih penting antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Merefleksi sejarah regulasi hukum HAM (DUHAM) yang menjadi rujukan internasional ternyata telah dilalui selam 60 tahun lebih. Regulasi hukum HAM ini dibentuk setelah disepakati bersama oleh negara-negara di dunia. Kemudian oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 mengumumkan mengenai Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) tersebut melalui resolusi 217 A (III). DUHAM inilah kemudian menjadi landasan utama penegakan hukum HAM di dunia termasuk Indonesia. Terdapat 30 pasal regulasi substansi HAM dalam DUHAM ini dalam konteks basic rights (hak-hak dasar), dan basic needs (kebutuhan dasar).
Selanjutnya, pada tanggal 16 Desember 1966, melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi oleh negara-negara anggota PBB dibentuk dua konvenan yaitu, pertama, International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Konvenan ini dibagi ke dalam enam bagian dan 53 pasal, dimana mengatur substansi hak-hak sosial dan politik. Berdasarkan DUHAM dan kedua konvenan inilah selanjutnya, negara-negara yang menjadi anggota PBB terikat untuk mengimplementasikan, sesuai dengan aturan dan kedaulatan negaranya. Untuk menjalankannya, terlebih dahulu negara para pihak termasuk Indonesia melakukan ratifikasi (mengundangkannya) ke dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks Hukum HAM Internasional, memamng terdiri dari kumpulan aturan, prosedur, dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap HAM di semua negara di seluruh dunia. Namun demikian, sekalipun HAM Internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur, dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negeri yang terkait dari negara-negara dimana praktisi hukum mempunyai kepentingan - khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada HAM. Memang, karena hukum internasional pada umumnya hanya bisa diterapkan pada negaranegara dan biasanya tidak menciptakan hak-hak yang dapat diberlakukan secara langsung oleh para pribadi dalam pengadilan nasional, hukum HAM Internasional dalam praktek dapat dibuat efektif hanya kalau setiap negara membuat aturanaturan ini menjadi bagian dari sistem hukum domestiknya sendiri.
Inti paham HAM adalah Pertama bahwa HAM secara kodrati inheren atau melekat, universal mengacu bahwa HAM itu tanpa pembedaan warna kulit, ras, agama, suku, etnis, bangsa, atau status sosial lainnya dan tidak dapat dicabut; hakhak itu dimiliki oleh individu semata-mata karena mereka adalah manusia ciptaanNya bukan karena mereka adalah warga negara suatu negara. Kedua, perlindungan efektif terhadap HAM terdapat dalam kerangka batas-batas legitimasi yang demokratis. Ketiga, batas-batas pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-undang sebagai bagian dari konsep negara hukum yang bermakna bahwa hak harus dilindungi oleh undang-undang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak-hak individu, pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional. Selanjutnya, Thomas Paine, juga mengatakan: “Tetapkan hak-hak asasi manusia, junjung tinggi kesetaraannya, jangan biarkan ada hak-hak istimewa. Tidak ada perbedaan karena kelahiran, dan tidak ada monopoli. Selamatkan kebebasan industri dan perdagangan, serta pembagian warisan keluarga secara adil.
Pandangan ini melihat HAM sebagia nilai-nilai universal sebagaimana dokumen-dokumen HAM Internasional, seperti the International Bill of Human Rights. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju, dimana bagi Negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif karena menerapkan HAM sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of judgement). Contohnya, country report dari Kedubes Amerika Serikat. Demikian pula salah satu pernyataan yang tersurat dan tersirat dalam Summary of Bangkok NGO Declaration (Bangkok:1993), antara lain menyatakan: “As human rights are of universal concern and are universal in value, the advocacy of human rights cannot be considered to be an encroachtment upon national sovereignity. Artinya, ketika hak-hak asasi manusia menjadi perhatian dan berharga serta bersifat universal, pembelaan hak-hak asasi manusia tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kedaulatan nasional.”
Pandangan Universal Relatif. Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal. Namun, pengkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum nasional tetap diakui keberadaannya. Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights (UDHR), mengatakan: dalam penerapan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang dihadapkan pada suatu batasan-batasan tertentu yang ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk melindungi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebesan orang lain dan memenuhi syarat-syarat yang adil dari segi moral, norma masyarakat, dan kesejahteraan umum dalam dalam masyarakat demokratis.
Pada dasarnya bangsa Indonesia memiliki pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia yang bersumber dari nilai agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bangsa Indonesia mengakui bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat dan sebaliknya, masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing memiliki hak dasar. Setiap individu, disamping mempunyai hak asasi juga kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi individu lain atau komunitas masyarakat lain. Dalam istilah Baramuli, dilihat dari sejarahnya, HAM di Indonesia merupakan pembauran antara hak kolektif dan hak orang per-orang. Secara normatif, substansi hak asasi manusia telah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik implisit maupun eksplisit. Sebelum amandemen regulasi mengenai HAM dalam UUD 1945 tidak diatur secara eksplisit dan komprehensif.
Adnan Buyung Nasution menyebutkan, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Sejumlah produk politik yang penting tentang HAM, seperti dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia joncto UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah amandemen, dengan sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undangundang tentang HAM dan peradilan HAM merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya, penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM.
Sementara, dalam konteks implementasi DUHAM dan kedua konvenan diatas setelah 57 tahun disahkan, baru pada tahun 2005 pemerintah Indonesia mengesah kedua konvenan tersebut melalui UU No.11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dilanjutkan dengan UU No.12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Jika merujuk kepada pemenuhan regulasi hukum HAM di Indonesia sampai saat ini, boleh dikatakan telah terpenuhi. Namun demikian, dalam konteks implementasi masih terdapat kendala dan kekurangannya terutama, konteks pembangunan yang berwawasan HAM.
Oleh karena itu, Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia (Balitbang HAM), saat ini memfokuskan tiga kegiatan dalam kaitannya dengan Paradigma Pembangunan Nasional Berwawasan HAM. Pertama, mengidentifikasi berbagai kendala utama yang dihadapi dalam pemajuan dan perlindungan HAM melalui rights-based assesement yang berpijak pada data empiris (evidence-based target) pada setiap sektor pembangunan terutama pada kelompok sasaran yang rentan. Kedua, meningkatkan kualitas ketatapemerintahan (improving governance) baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota melalui pendekatan pembangunan yang berbasis HAM. Dan, ketiga, menetapkan dan menyajikan rekomendasi kebijakan prioritas yang diperlukan bagi proses perencanaan dan pelaksanaan reformasi di bidang pemerintahan, legislasi, politik dan budaya (holistic and systemic reforms) yang memihak kepada mereka yang lemah.
Penganut universalisme cenderung menerapkan teori positivisme dimana sebuah hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Paham ini berusaha menihilkan realitas sosial didalam masyarakat karena tujuan hukum memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat tersebut. Perspektif ini tentu memerlukan sebuah infrastruktur hukum yang sangat kuat dan saling terkait. Misalnya, petugas hukum dan produk perundang-undanganya harus benar-benar netral dari conflict of interestagar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dalam skala negara misalnya, Indonesia dan Malaysia dimasukan kedalam kelompok yang mendukung relativisme budaya bersama dengan Kuba dan negara-negara Arab seperti Iran dan Saudi Arabia. Akan tetapi mungkin sekarang posisi Indonesia telah sedikit bergeser seiring dengan adanya perkembangan perlindungan hak asasi manusia yang cukup signifikan khususnya setelah era reformasi. Meskipun tentunya ada beberapa hak asasi manusia yang belum sepenuhnya dilindungi dan dijamin di Indonesia.
Sedangkan negara-negara yang mendukung universalisme hak asasi manusia adalah negara-negara di Amerika Utara dan negara-negara di Eropa Barat sebagai penggagas konsep hak asasi manusia internasional. Di negara-negara tersebut, hak asasi manusia sudah sangat maju meskipun ada beberapa persoalan hak asasi manusia yang masih harus diperbaiki. Misalnya, kata-kata rasisme di Eropa Barat dilihat sebagai sebuah tindakan kriminal dengan ancaman hukuman penjara. Sedangkan di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, rasisme masih sering terjadi dan bahkan beberapa kali dijadikan lelucon di tempat umum dan di media massa.
Komentar
Posting Komentar