Langsung ke konten utama

Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Pembentukan KPK di Daerah


Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Pembentukan KPK di Daerah
            Politik hukum pemberantasan korupsi adalah kebijakan hukum yang diambil oleh Negara melalui organ-organ negara yaitu legislatif dan eksekutif melalui peraturan perundang-undangan mengenai arah hukum yang akan diberlakukan untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi berupa kebijakan pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama
            Pelaksanaan desentralisasi merupakan kebijakan negara sebagai upaya mendekatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan rakyat, menumbuhkan partisipasi masyarakat, serta good governance, ternyata berimplikasi negatif dengan menyuburnya korupsi di daerah. Salah satunya adalah keterbatasan jumlah penyidik KPK yang harus beroperasi di seluruh Indonesia. Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan menyusul Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam implementasinya diharapkan mampu mendinamisasikan serta meningkatkan derajat desentralisasi, dapat meminimalisir epidemi korupsi di daerah.  
Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di daerah merupakan bagian dari cita-cita otonomi daerah. Oleh karena itu, gagasan untuk membentuk KPK di daerah merupakan komitmen dalam rangka menindaklanjuti ketentuan pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Ide membentuk KPK di daerah tiada lain dimaksudkan sebagai upaya simultan untuk mempercepat strategi pencegahan, edukasi, dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini telah menjerat Kepala Daerah, Pejabat Daerah dan Pengusaha baik ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota. Dalam konteks pembentukan kelembagaan KPK di daerah bukan dimaksudkan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya baik ditingkat Kepolisian dan Kejaksaan. Sinergitas antar penegak hukum sangat penting agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
PENDAHULUAN
Politik hukum pembentukan lembaga anti rasuah di Indonesia berawal dari mandat konstitusional sebagaimana termaktub di dalam Ketetapan MPR RI No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Atas dasar mandat tersebut maka, Pemerintah menindaklanjuti pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengamanatkan pembentukan KPK. Sepemahaman saya dalam konteks pembentukan kelembagaan KPK bukan dimaksudkan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Namun demikian saya memandang bahwa seiring dengan kepercayaan publik (public trust) dan dorongan publik yang semakin menguat terhadap kinerja KPK dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia menjadikan model trigger mechanism sebagaimana dimaksud terkesampingkan. Meskipun berbagai Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara KPK dengan POLRI dan/atau Kejaksaan telah dijalin diantara lembaga penegak hukum nampaknya masih belum bisa menjembatani berbagai problem fundamental terkait dengan relasi komunikasi, koordinasi, sinergitas maupun supervisi baik dalam ranah pencegahan dan penindakan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi pada ranah penyelenggara negara baik ditingkat pusat dan daerah.
Pada sisi lain terhadap kelembagaan KPK sejak dibentuk sampai saat ini berbagai turbulensi sistemik terus terjadi mulai dari praktek kriminalisasi pimpinan KPK, penyuapan pimpinan KPK (kasus cicak versus buaya), deligitimasi kepegawaian, deligitimasi prosedur penindakan, konflik sektoral antar lembaga penegak hukum bahkan deligitimasi anggaran turut mewarnai perjalanan KPK dalam menjalankan mandat rakyat untuk menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia.
Meskipun demikian dalam masa sejak dibentuknya kelembagaan KPK telah berkipra dan berkontribusi secara positif dalam mengawal terwujudnya Indonesia bersih dari korupsi. Banyak kemajuan yang telah dicapai. Menurut data yang dilansir dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan telah berhasil menyelamatkan keuangan negara dengan memberi kontribusi kepada negara sebesar Rp 1,49 Triliun dan sejumlah asset juga telah disita untuk digunakan kepentingan pemerintah melalui kegiatan pencegahan korupsi sejak tahun 2014-2018. Disamping itu KPK juga berkontribusi terhadap penataan sistem maupun mendorong percepatan reformasi birokrasi kelembagaan baik ditingkat pemerintah pusat dan daerah.
Sejalan dengan realita kinerja pemberantasan korupsi sebagaimana dijelaskan diatas nampaknya, potensi kerugian negara akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara telah menjalar diberbagai instansi lembaga negara yang menjalankan sistem kenegaraan baik pada tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Potret pemberantaan korupsi di Indonesia semakin kompleks mengingat mewabahnya perilaku korupsi yang menjalar diberbagai lini penyelenggaraan Negara baik ditingkat pusat dan di berbagai daerah baik pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota. Kasus korupsi yang terjadi di berbagai daerah melibatkan sejumlah petinggi pemerintahan. Dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) dan pemantauan berbagai pemberitaan media praktek korupsi telah berkembang sedemikan pesat dan sistemik. Daftar tersebut akan semakin bertambah panjang, mengingat masih banyak sejumlah pelaku kejahatan korupsi yang melibatkan petinggi pemerintahan daerah yang belum mendapatkan izin pemeriksaan dari institusi diatasnya.
secara kuantitatif jumlah kejahatan korupsi di Indonesia tergolong sangat tinggi. Sejumlah Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau pimpinan DPRD terlibat tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi. Penulis berpendapat bahwa pola dan/atau relasi terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi di tubuh Pemerintahan dapat dibedakan dalam tiga kategori antara lain Pertama, adanya bentuk penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai suatu kewenangan tertentu untuk bertindak atas dasar legalitas hukum yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya memiliki sifat non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya. Kedua, discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh Kepala Daerah karena memiliki kewenangan istimewa yaitu legalitas untuk mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota atau berbentuk Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok maupun dengan keluarganya. Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung akan mendapatkan kompensasi.
Transparency International Indonesia merilis Corruption Perceptions Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018. Tahun ini IPK Indonesia naik tujuh peringkat ke posisi 89 dari 180 negara. Skor IPK Indonesia tahun 2018 adalah 38, setelah 2016, 2017 skor IPK 37. Berdasarkan perkembangan indeks persepsi korupsi dimaksud maka praktek korupsi dan lemahnya penegakan hukum merupakan ancaman bagi stabilitas negara. Di dalam United Nation Convention Againts Corruption menyatakan bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yaitu dapat merusak lembaga-lembaga negara dan tata nilai demokrasi, nilai etika, prinsip keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
Berdasarkan analisis di atas menunjukkan bahwa kinerja pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh KPK perlu diperkuat guna mensinergikan gerakan anti korupsi khususnya di daerah. Penulis memandang bahwa episentrum korupsi di daerah melekat pada relasi kekuasaan yang dibangun atas dasar demokrasi prosedural yang bersifat transaksional. Pola korupsi di daerah meruyak sedemikian massif dengan berbagai motif. Sepanjang pengalaman penulis dalam mengadvokasi gerakan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) pola korupsi di daerah dapat teridentifikasi dari berbagai bentuk antara lain money politic dalam Pilkada, korupsi dana bantuan sosial, suap pejabat didaerah, proyek fiktif, mark-up anggaran, gratifikasi illegal (illegal gratuity) dalam berbagai bentuk (gratifikasi seks, voucher belanja, voucher umroh dan/atau haji), korupsi APBD, pungutan liar,penyalahgunaan kewenangan dalam mengambil kebijakan khususnya dalam pemanfaatan barang milik daerah dan/atau perizinan, tindak pidana pencucian uang, penyertaan modal fiktif, proyek fiktif, persaingan usaha yang tidak sehat dengan modus monopoli dalam proses pengadaan barang dan jasa, korupsi dalam rotasi jabatan dan seleksi CPNS didaerah.
Sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) maka tindak pidana korupsi harus diberikan kekhususan agar dapat secara masif memberikan dampak penguatan tata kelola pemerintahan guna mewujudkan Indonesia bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejalan dengan beragamnya modus tindak pidana korupsi sebagaimana diidentifikasi maka gagasan untuk membentuk KPK didaerah dipandang sebagai suatu kebijakan yang strategis guna memaksimalkan gerakan pemberantasan korupsi baik dari aspek pencegahan, pemberantasan dan penataan sistem pemerintahan di daerah yang memiliki maruah anti korupsi.
Gagasan untuk membentuk KPK didaerah sebagaimana dimaksud terbuka peluang manakala ditelisik dari ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Sementara itu ketentuan ayat (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah Provinsi. Sejalan dengan ketentuan yuridis dimaksud penulis hendak mengangkat isu hukum (legal issue) terkait dengan gagasan politik hukum pembentukan KPK di daerah guna mensinergiskan serta optimalisasi strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.
PEMBAHASAN
1. Aspek Legal Kelembagaan Negara dalam Membentuk KPK di Daerah.
            Gagasan membentukan KPK di daerah tidak terlepas dari perkembangan ajaran kekuasaan negara yang mengalami pergeseran paradigma tatkala pembagian kekuasaan bergeser ke arah pemisahan kekuasaan dalam rangka menghindari absolutisme dan kesewenang-wenangan dari kekuasaan itu sendiri. Pada akhirnya proses perkembangan negara-negara modern tidak terlepas secara substansial dari ajaran Montesquieu, Van Vollenhoven, Van Apeldoorn. Bagaimanapun modifikasi kelembagaan yang paling modern dipastikan tidak terlepas dari model subtansi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
            Beranjak pada pandangan diatas maka perkembangan organisasi non elected agencies ini telah muncul sejak sebelum diperkenalkan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal Inggris sudah biasa bekerja dengan menggunakan banyak ragam dan bentuk organisasi yang disebut joints comiitess, board dan sebagainya untuk tujuan prinsip economies of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum (Asshidiqie, 2006). Birokrasi dituntut untuk semakin ramping dalam istilah Stephen P. Robbins ”slimming down bureucracies” adapun yang dimaksud dengan agencies dapat disebut sebagai dewan (council), komisi (comision) Komite (comitee), badan (board), atau otorita (autority). Hal tersebut diatas dikelompokan oleh Gerry Stoker kedalam tipe organisasi, yaitu Tipe pertama adalah organ yang bersifat central goverment’s arms length agency, Tipe kedua, adalah organ yang merupakan local authority implementing agency, Tipe ketiga, organ atau institusi sebagai public/private parthnership organization, Tipe keempat organ sebagai user-organization, Tipe kelima, organ merupakan intergovermental forum, Tipe keenam, organ yang merupakan joint boards (Kana, 1999).
            Berdasarkan penjelasan diatas maka dalam konteks kelembagaan negara di berbagai belahan dunia telah mengalami perkembangan organisasi negara yang pesat. Perkembangan dimaksud dialami oleh Amerika dan Perancis. Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Adakalanya lembaga-lembaga baru tersebut disebut sebagai self regulatory agencies, independen supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix function) dan fungsi penghukuman yang biasa dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan (Prasetyo, 2010).
            Penulis mengelompokkan lembaga-lembaga negara yang sifatnya agencies yang ada dilapangan, berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan. Beberapa inventarisasi lembaga-lembaga tersebut antara lain terbagi menjadi :
a.       .Kelompok pertama adalah Komisi-komisi yang lahir berdasarkan konstitusi. Ciri utama terletak pada proses rekruitmen dan pertanggung jawaban dengan keterlibatan tidak hanya pada satu lembaga kekuasaan saja, tetapi bisa saja bertaut antara Kekuasaan eksekutif-legislatif dan Yudikatif. Kedudukan yang kuat tidak tergantung pada situasi politik karena disebutkan dalam konstitusi.
b.      Kelompok kedua adalah Komisi-komisi yang lahir atas dasar Undang-undang. Ciri utama terletak pada proses rekruitmen dan pertanggung jawaban yakni dengan keterlibatan tidak hanya pada satu lembaga kekuasaan saja, tetapi bisa saja bertaut atau tidak bertaut Kekuasaan eksekutif-legislatif dan Yudikatif.
c.       Kelompok ketiga adalah Komisi-komisi yang lahir atas dasar Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden. Ciri utama adalah komisi ini terbentuk atas kebijaksanaan Presiden dan mempertanggung jawabkan kepada Presiden.
d.      Kelompok keempat adalah Komisi-komisi yang lahir atas dasar Peraturan, Keputusan di Lingkungan Departemen.
e.       Kelompok Kelima adalah Komisi-komisi yang lahir atas dasar Peraturan Daerah.
Dari peta konsolidasi lembaga-lembaga agencies meskipun belum lengkap, nampaklah bahwa di daerah telah mewabah lembaga-lembaga agencies mulai dari pemerintah propinsi sampai dengan pemerintah kota/kabupaten. Banyaknya lembaga-lembaga agencies yang berbentuk komisi-komisi tidak terlepas karena belum adanya pengaturan yang berkaitan dengan tata cara pembentukan dan standar-standar bahwa sebuah komisi harus di bentuk. Paradigma yang paling banyak berkembang adalah setiap ada permasalahan pasti diperlukan aturan dan setiap aturan dimungkinkan muncul kelembagaan yang terkadang pula tugas pokok dan fungsinya ada kemiripan dengan lembaga lainnya. Beberapa hal yang harus disadari bahwa kelembagaan baru akan memunculkan beban anggaran yang tidaklah sedikit, mulai dari perkantoran, SDM dan operasional.
2. Identifikasi terhadap Kedudukan Kelembagaan KPK di Daerah
            Kedudukan komisi-komisi negara tidak akan pernah dilepaskan dari akar teori kekuasaan negara. Penulis berpendapat akar teori kekuasaan negara dimulai oleh montesquieu yang di kenal dengan kekuasaan negara terbagi menjadi 3 yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kehakiman. Perkembangan waktu ajaran trias politika sesungguhnya adalah untuk melaksanakan kemerdekaan politik yang kemudian muncul ajaran kekuasaan negara yang baru seperti dikemukakan oleh Van Vollenhoven yang diikuti juga Van Apeldoorn yakni dibedakan menjadi 4 yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kehakiman dan ditambah satu yakni kekuasaan kepolisian (Fadjar, 2003)
            Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat mandiri tidak dimasukkan dalam konstitusi. Pencantuman ini bukan berarti tidak memiliki komitmen terhadap penegakan hukum, pemberantasan korupsi. Akan tetapi lebih mengarah kepada alasan-alasan yakni kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam ranah cabang kekuasaan yudikatif. KPK dibutuhkan pada situasi dimana persoalan korupsi harus ditangani secara ekstra diluar sistem yang sudah ada. Jika persoalan korupsi tidak lagi menjadi ekstra cukuplah ditangani dengan sistem penegakan hukum yang sudah ada.
            Beranjak dari pandangan di atas maka dalam konteks penegakan pemberantasan korupsi di daerah maka dipandang penting untuk membentuk kelembagaan KPK di daerah sebagai komitmen untuk mewujudkan desain tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan keleluasan pada daerah yang menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Daerah diberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
            Namun demikian dalam perkembangannya praktek otonomi daerah yang luas telah melahirkan berbagai bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh birokrasi daerah. Komitmen untuk mewujudkan desain tata pemerintahan yang bersih dari korupsi diawali oleh kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi dan penyusunan Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 menjadi basa-basi birokrasi. Hampir tak bergigi dalam konteks perlawanan terhadap gurita korupsi ini. Inpres tersebut seakan dipinggirkan oleh lembaga-lembaga yang menerima instruksi percepatan pemberantasan korupsi (Isra, 2009).
            Harapan publik yang hampir jatuh ke titik nadir, mulai tumbuh kembali ketika KPK serius membongkar praktek busuk di berbagai institusi sentral. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga harus ditangani secara luar biasa pula. KPK didirikan dengan misi utama melakukan penegakan hukum. Korupsi pada dasarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan yang bisa melakukan korupsi. Dalam banyak kasus, korupsi kerap melibatkan pejabat tinggi dan elit politik. Situasi ini menyebabkan Kejaksaan atau Kepolisian acapkali tidak bisa leluasa untuk menegakkan hukum. Kondisi ini diperparah lagi, karena para penegak hukum tersebut justru merupakan sumber dan pelaku sekaligus pelindung para koruptor.
            Dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian, KPK dinilai lebih transaparan dan akuntable dalam hal memilih kasus-kasus strategis. Posisi sebagai triger mechanisme menjadikan lembaga ini harus benar-benar menempatkan perkara besar dan secara langsung membahayakan publik atau perekonomian negara sebagai indikator. Melihat potret korupsi di daerah yang tergambar maka, gagasan pembentukan perwakilan KPK di daerah menjadi kebijakan yang amat strategis. Barangkali kewenangan KPK Daerah dikurangi dibandingkan dengan KPK Pusat. Misalnya perwakilan KPK di daerah dengan kewenangan terbatas yang bersifat non penindakan, seperti menerima laporan masyarakat dan melakukan tugas-tugas dibidang pencegahan. Atau bisa juga KPK daerah memiliki kewenangan dalam penanganan kasus yang nilai kerugian negaranya minimal adalah Rp 500 juta. Dasar pemikirannya adalah karena faktanya jumlah korupsi di daerah lebih besar dibanding pusat.
Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat sedikitnya sudah ada 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar. Aktor korupsi  banyak terjadi di tingkat rendah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sesungguhnya membuka peluang terwujudnya pembentukan perwakilan KPK di daerah. Pasal 19 ayat (2) menyatakan “KPK dapat membentuk perwakilan di daerah ibukota provinsi”. Mengacu pada gambaran umum tersebut maka gagasan membentuk KPK didaerah dimaksudkan sebagai sebuah mekanisme kontrol publik untuk menilai keberanian lembaga-lembaga negara untuk menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaran negara yang bersih dari praktek korupsi. Kita berharap dengan pembentukan KPK di daerah dapat meminimalisir (atau bahkan mehilangkan) praktek-praktek korupsi di daerah.
3. Dampak Positif Adanya KPK Perwakilan di Daerah
              Dalam situasi penegakan hukum oleh aparat penegak hukum konvensional mengalami stagnansi dalam penanganan kasus korupsi, pada sisi itu pula pertarungan politik juga turut berkontribusi menciptakan perilaku dan/atau tindakan koruptif yang kian massif dan sistemik. Denagn kondisi ini tentu kita berharap agar Kepolisian ataupun Kejaksaan segera pulih dari himpitan kepentingan politik praktis yang berorientasi pada kepentingan sekelompok elit kekuasaan semata. Desakan publik yang terus-menerus menyuarakan agar kedua institusi tersebut menangani kasus korupsi secara serius diimbali dengan macetnya proses hukum ditingkat penyelidikan dan/atau penyidikan. KPK perwakilan di daerah hadir dan di konstruksikan guna menjawab pemasalahan tersebut. Dengan bermodalkan profesionalitas, akuntabilitas, dan integritas yang tinggi kehadiran KPK perwakilan di daerah diharapkan bisa jadi akan dapat mengontrol hasrat korupsi yang lahir dari kekuasaan tanpa batas sebagaimana dinyatakan oleh Lord Acton bahwa absolutely power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely yang berarti kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak.
4. Prediktabilitas Terhadap Dampak Negatif Membentuk KPK di Daerah
            Di luar dampak positif yang dapat diberikan atas kehadiran KPK Perwakilan Daerah, nampaknya kita juga harus memikirkan dampak negatifnya, atau paling tidak kemungkinan terburuk yang bisa muncul.Terutama jika dikaitkan dengan visi dan misi KPK yang strategis. Sebagaimana kita tahu,posisi dan peran KPK sebenarnya adalah trigger mechanism. Artinya, KPK didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum konvensional. Salah satu latar belakang berdirinya KPK adalah karena aparat penegak hukum konvensional telah gagal dalam mengemban amanat konstitusi, yakni melakukan pemberantasan korupsi (Husodo, 2008).
            Kehadiran KPK di daerah diharapkan dapat memberikan teladan, contoh, dan model penegak hukum yang memiliki integritas, profesionalitas, dan independensi yang tinggi. Dengan hadirnya KPK perwakilan, ada kesan yang muncul bahwa KPK akan menggantikan posisi kejaksaan dan kepolisian. Padahal, sejatinya KPK tidak dimaksudkan untuk sampai pada titik ini. KPK lebih banyak diharapkan dapat memberantas korupsi yang melibatkan pejabat negara dan aparat penegak hukum yang selama ini tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum konvensional. Menghadirkan KPK perwakilan juga berarti pertaruhan integritas. Sebuah kondisi yang sulit dipertahankan dalam level yang paling tinggi saat rentang kendali kian jauh.Dalam ilmu manajemen standar, rentang kendali akan sangat memengaruhi efektivitas dari kontrol itu sendiri. Dengan demikian, tantangan KPK perwakilan adalah bagaimana mereka dapat memastikan bahwa integritas dari orang-orang yang kelak akan mengisi jabatan KPK perwakilan dapat dijaga dengan baik.

PENUTUP
            Berdasarkan pembahasan diatas maka gagasan untuk membentuk KPK di daerah merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ranah ilmu hukum kelembagaan negara maka konsep Komisi-Komisi Negara akan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Komisi Negara yang lahir dan diatur di dalam konstitusi dan Komisi Negara yang lahir dan diatur Undang-Undang. Dengan demikian maka pembentukan KPK di daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlanjutan regulasi (sustainable regulation) sekaligus mata rantai regulasi yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Pentingnya mendesain secara komprehensif kedudukan komisi-komisi negara dipandang strategis bagi penataan sistem kenegaraan Indonesia kedepan. Penataan sebagaimana dimaksud dimulai dari reformasi konstitusi sampai dengan peraturan perundang-undangan untuk dilakukan restrukturisasi dalam rangka efektifitas dan efisiensi kinerja kelembagaan negara. Bukan menjadi sebuah jaminan bahwa semakin banyak lembaga agencies akan menjadi efektif. Bisa jadi akan semakin tumpang tindih dan penggunaan anggaran yang jauh dari efisien. Akan tetapi untuk membentuk KPK di daerah merupakan kebutuhan mendesak dan strategis karena kehadirannya diharapkan dapat mempercepat terwujudnya desain tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di daerah.






REFERENSI
Arrsa, Ria Casmi, Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik dan Penuntut Umum Independen KPK, Jakarta: Jurnal Rechtsvinding Vol. 3 No. 3 Tahun 2014, 2014.
Asshidiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Fadjar, A. Mukthie, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang: Penerbit In-Trans, 2003.
Husodo, Adnan Topan, Wacana Pembentukan KPK Perwakilan, diakses dari http://www.antikorupsi.org/id/content/wacana-pembentukan-kpk-perwakilan, 2008.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR RI No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Kasus Trail Smelter

Analisis kasus Trail Smelter Trail Smelter Case 1941 ( Kasus Trail Smelter 1941 ), berawal dari permasalahan pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur dioksida , menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air, dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya. Amerika Serikat kemudian melakukan klaim terhadap Kanada dan meminta Kanada bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita Amerika Serikat (AS). Setelah melakukan negosiasi, kedua negara...

Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui Generis

              Ilmu hukum adalah “SUI GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang jenis sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda. Ciri ilmu hukum sebagai sui generis : karakter normatif i lmu hukum, Terminologi ilmu hukum, Jenis ilmu hukum, Lapisan ilmu hukum. Dari sudut kualitas sulit dikelompokkan dalam Ilmu Pengetahuan Alam atau dalam Ilmu Pengetahuan Sosial.   Ilmu Hukum memiliki Tatanan/lapisan Ilmu sendiri, menurut T Gijssels, terdiri dari Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Ilmu Hukum. Secara singkat perngertian ketiganya adalah dogmatik hukum Studi secara ilmiah tentang hukum pada tataran ilmu-ilmu positif. Teori hukum Studi yang obyek telaahnya adalah tatanan hukum sebagai suatu sistem. Dan, filsafat hukum Studi yang objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian ( law as such ). (B. Arief Sidharta, Meuwisse...

ANALISIS KASUS PENAHANAN PERWAKILAN DIPLOMATIK INDIA DI AMERIKA SERIKAT “DEVYANI KHOBRAGADE”

Gambaran Kasus Dr. Devyani Khobragade adalah perempuan kelahiran kota Tarapur wilayah bagian Maharashtra, berkebangsaan India. Khobragade masuk ke dinas Kementerian Luar Negeri India pada tahun 1999. Kemudian pada September 2012 dia menjabat sebagai Deputi Konsulat Jenderal India   di New York, Amerika Serikat. Saat dia menjabat di AS, dia mendapatkan perhatian dunia internasional karena kasus pemalsuan informasi pengajuan izin tinggal (visa) atau dikenal dengan visa fraud   di AS milik pembantunya yaitu Sangeeta Richard yang diajukan pada bulan November 2012. Karena itu pada tanggal 11 Desember 2013, Khobragade ditangkap dan diperiksa oleh otoritas keamanan AS atas laporan dari Sangeeta Richard melalui komunitas India di New York dengan tuduhan Khobragade mempekerjakan tenaga kerja (Sangeeta Richard) di bawah upah minimal yang ditetapkan hukum AS . Kasus ini berawal pada 15 Oktober 2012, Khobragade mengajukan aplikasi permohonan visa online ke website U.S. Department ...