Program Prioritas
Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria
Konsentrasi
penguasaan tanah merupakan penyebab utama lahirnya ketimpangan agraria. Laju
investasi modal telah diikuti perubahan status kawasan hutan dan kuasa atas
tanah. Pengaturan kawasan hutan lindung maupun perubahan peruntukan menjadi
hutan produksi, perkebunan hingga penerbitan izin usaha pertambangan telah
menyebabkan banyak desa di kawasan hutan kehilangan akses terhadap sumber
kehidupan mereka yang sebelumnya ada di hutan.
Setidaknya,
terdapat 531 konsesi hutan skala besar yang diberikan di atas lahan seluas 35,
8 juta hektar, sedangkan di sisi lain terdapat 60 izin HKm, HD, dan HTR yang
dimiliki oleh 257.486 KK (1.287.431 jiwa) di atas lahan seluas hanya 646.476
hektar. Adapun hutan kemitraan (salah satu model pengelolaan hutan oleh
pemegang konsesi dengan cara bermitra dengan masyarakat lokal) hanya mencapai
11.500 hektar sedangkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani
yang menyertakan 5.293 Kelompok Tani Hutan (KTH), 1.200 koperasi primer, dan
5.394 desa hanya mencakup 2,1 juta hektar. Di wilayah pertanian ada 2.452 Badan
Usaha Pertanian berskala besar, sementara 56% rumah tangga tani hanya memiliki
lahan kurang dari 0,5 hektar.
Terkait redistribusi
penguasaan dan kepemilikan hak tanah negara
RPJMN 2015-2019 telah
menyebutkan 9 juta hektar tanah negara yang digolongkan sebagai Tanah Objek
Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat
miskin pedesaan. Redistribusi lahan dilakukan untuk petani gurem atau tak
bertanah yang lahab di wilayahnya sudah terbagi habis dalam hak-hak pemanfaatan
yang diberikan negara pada perusahaan-perusahaan perkebunan atau lahan-lahan
yang diberikan Hak Guna Bangunan atau jenis hak lain. Pola pemilikan,
penguasaan, dan pengusahaan atas tanag ini didorong untuk bersifat berkelompok,
kolektif, komunal, atau bersama. Bentuk kelembagaan yang bisa dikembangkan
ekonomi adalah koperasi, badan usaha milik petani (BUMP), badan usaha milik
desa (BUMDes), atau jenis lainnya. Adapun identifikasi lahan-lahan HGU yang
diterlantarkan atau yang telah berakhir HGU-nya dan tidak lagi dapat
diperpanjang, atau lahan yang diterlantarkan menjadi salah satu kegiatan yang
dapat dilakukan oleh Kementerian ATR karena kedua kewenangan itu ada di bawah
kementerian ini. Selain itu, pemerintah juga perlu mengidentifikasi tanah-tanah
lain yang memungkinkan untuk didistribusikan kepada rakyat secara kolektif.
Seputar pengakuan
wilayah dan hutan adat
Masyarakat adat dalam
sejarahnya selalu tersingkirkan dari wilayah ulayatnya karena program-program
pembangunan ataupun bentuk-bentuk investasi pengelolaan sumber daya agraria.
UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat. Hal ini juga dikuatkan oleh
putusann Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-IX/2012 tanggal 16 Mei yang menyebutkan
bahwa, “ Masyarakat Hukum Adat adalah penyandang hak dan subyek hukum atas
wilayah adanya “ sehingga hutan adat harus dikeluarkan dari kawasan hutan
negara. Pengakuan wilayah adat ini dilakukan secara seksama dengan prinsip yang
sejalan dengan reforma agraria, yakni mewujudkan keadilan agraria dan mencegah
monopoli yang menyebabkan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah oleh
segelintir pihak. Pengakuan wilayah adat ini juga diletakkan dalam konteks
memastikan pelaksanaan pembangunan melibatkan dan menguntungkan masyarakat
khususnya kaum tani, nelayan dan masyarakat adat, yang berkeadilan secara
sosial, ekonomi, dan ekologis.
Pengelolaan dan
pengadaan lahan kekayaan Desa
Pemerintah Desa memiliki kewenangan
besar berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014. Dengan kewenangannya itu, pemerintah
desa dapat untuk melaksanakan reforma agraria melalui pengelolaan lahan desa
bersama masyarakat. Setiap desa memiliki kekayaan desa, termasuk tanah kas atau
cadangan desa sendiri. Berdasarkan Permendagri No. 4 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Kekayaan Desa, tanah kas desa disewakan kepada petani untuk
menambah penghasilan desa. Artinya, redistribusi penggunaan atau pemanfaatan
tanah kas desa pada petani gurem dan tak bertanah tidak hanya merupakan bentuk
pelaksanaan reforma agraria untuk mengurangi ketimpangan tetapi juga menciptakan
basis produksi bagi masyarakat petani miskin dengan lahan gurem atau yang tidak
memiliki tanah dan tetap memberikan penghasilan bagi desa. Jaminan sosial
berbasis agraria ini potensial dilakukan dengan perubahan pemerintahan desa
saat ini.
Pengelolaan tanah aset
desa oleh masyarakat miskin
Kekayaan desa yang berupa
tanah/lahan merupakan aset yang dapat dijadikan sumber jaminan sosial bagi
masyarakat miskin ataupun petani tak bertanah atau gurem. Pemanfaatan
tanah/lahan yang merupakan kekayaan desa dimungkinkan dengan mekanisme yang
telah diatur dalam UU nomor 6/2014 tentang Desa, termasuk apabila akan diatur
secara khusus dalam Peraturan Desa tersendiri atau melalui Musyawarah Desa.
Dalam rangka pemenuhan jaminan sosial ini pula, pemerintah desa dapat mengatur
untuk melakukan pencadangan tanah/lahan kas desa sebagai kekayaan desa secara
bertahap, diantaranya melalui proses-proses pencabutan hak atas tanah yang
terlantar (dengan berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN), pembelian
tanah-tanah absentee, pelarangan konversi tanah/lahan pertanian, hingga ke
bentuk-bentuk wakaf atau hibah tanah pertanian dari individual kepada
pemerintah desa untuk dikelola sebagai lahan yang menjadi jaminan sosial bagi
warga miskin atau yang tidak bertanah.

Skema Pelaksanaan
reforma Agraria
Tujuan
umum dari pelaksanaan Program Prioritas Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Obyek Reforma Agraria ialah mengurangi konsentrasi pemilikan dan penguasaan
tanah, hutan dan kekayaan alam lainnya di tangan segelintir pihak, serta
memperkuat kepastian hak dan akses atas pemilikan dan penguasaan tanah bagi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, khususnya petani miskin di pedesaan secara
bersama.
Konsentrasi penguasaan lahan oleh
perusahaan dan pemerintah pusat, baik di kawasan hutan dan perkebunan
mengakibatkan ketidak jelasan status lahan
desa, maraknya konflik agraria, dan kerusakan ekologis. Selanjutnya, hal
ini berdampak pada krisis pangan, air, dan energi di desa. Karena itu, reforma
agraria harus dijalankan sebagai syarat dari pembangunan desa untuk
menyelesaikan persoalan ketidakpastian pemilikan/penguasaan tanah yang
merupakan alas dari pembangunan desa. Pelaksanaan reforma agraria disesuaikan
dengan tipologi desa menjadi Desa Pertanian Sawah, Desa Hutan, Desa Perkebunan,
Desa Pesisir, Desa Peri-Urban, dan Desa Adat, karena setiap desa memiliki
kekhasan karakteristik ekosistem, modal sosial dan kelembagaan, dan kekuatan
produktif yang berbeda-beda.
Penataan penguasaan dan pemilikan
tanah obyek reforma agraria dapat mengakibatkan:
1. Tidak
terjadinya lagi konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah, hutan dan kekayaan
alam lainnya di tangan segelintir pihak
2. Terdistribusikannya
tanah objek reforma agraria kepada masyarakat miskin yang membutuhkan
3. secara
tepat sasaran; dan
4. Dimiliki
dan dikuasainya tanah, hutan, dan kekayaan alam oleh rakyat sehingga tersedia
kemampuan meningkatkan pendapatan keluarga petani miskin di pedesaan secara
bersama.
Kriteria
keberhasilan program ini adalah terdatanya rumah tangga miskin (RTM) dan rumah
tangga petani (RTP) Miskin yang dapat menjadi subyek penerima manfaat dari
tanah obyek reforma agraria. Minimal 30% dari jumlah total Rumah Tangga Petani
dapat terdata per tahunnya, terdatanya tanah-tanah obyek reforma agraria yang
sudah terverifikasi di lapangan dan dipetakan hingga ke tingkat Desa, terdistribusikannya
tanah objek reforma agraria kepada rakyat miskin untuk dimiliki, dikuasai,
dimanfaatkan dan digunakan secara bersama untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran bersama, teredistribusikannya lahan-lahan kekayaan desa (aset desa)
berupa sawah untuk digunakan sebagai sumber penghidupan petani miskin, dan
berkurangnya jumlah petani yang tunakisma secara bertahap di seluruh desa di
Jawa (khususnya) minimal 2 Rumah Tangga Petani Miskin per desa per tahunnya, terinventarisasinya
lahan-lahan desa yang dikuasai atau dimiliki secara absentee, yang diterlantarkan,
atau yang merupakan tanah-tanah pertanian kelebihan maksimum, dan desa-desa
seluruh Indonesia memiliki cadangan tanah kekayaan milik desa yang dapat
digunakan sebagai jaminan sosial bagi masyarakat termiskin, petani gurem, dan
tak bertanah, teridentifikasi dan terakuinya masyarakat hukum adat dan wilayah
kelolanya, dengan didasarkan pada peta partisipatif yang telah diverifikasi
dengan K/L terkait di lapangan, dan perubahan tata batas kawasan atau perubahan
tata guna lahan yang teridentifikasi sebagai wilayah kelola masyarakat adat, adanya
pemulihan hak warga masyarakat eks-konflik agraria berupa terpenuhinya target
minimal 50.000 sertifikat hak milik per tahun berupa hak milik bagi warga yang
rumah atau lahan pekarangan atau garapannya atau bangunan milik desa dan milik
pemerintah daerah lainnya yang telah dikeluarkan dari peta kawasan hutan,
terpenuhinya target pemberian hak akses (yang dapat dibuktikan dengan surat hak
pengelolaan) minimal 100.000 surat pengelolaan lahan kepada masyarakat miskin
di dalam dan di sekitar hutan (melalui skema perhutanan sosial) maupun kepada
petani miskin di pedesaan (melalui skema pengelolaan lahan kekayaan desa berupa
sawah), dan tersedianya hak bersama (kolektif/komunal) bagi pemilikan dan
penguasaan tanah rakyat.
Keberhasilan
Program ini akan sangat ditentukan oleh kerjasama yang sinergis antar semua
komponen. Pemerintah, dari pusat hingga daerah serta partisipasi aktif
masyarakat. Pelaksanaan program ini disosialisasikan dan dikonsultasikan dengan
para pihak secara sistematis dan berkala agar dapat dipahami dan kemudian
dijalankan secara efektif sebagai agenda bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 2007. Reforma Agraria: Mandat
Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan “
Tanah untuk
Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat “.
Harsono,
Budi.2005, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
Dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan.
Pattiro.
2014, Anotasi Undang-Undang Desa. Jakarta.
Perangin,
Effendi. 1994, Hukum Agraria di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Safitri,
Laksmi, dkk (Eds.) 2010, Pengembangan
Kebijakan Agraria Untuk
Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan
keberlanjutan Ekologis.
Yogyakarta: STPN Press
dan SAINS.
Tjondronegoro,
S.M.P dan Gunawan Wiradi (Eds.). 2008, Dua
Abad Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dari masa ke masa. Jakarta:
Yayasan Obor
Indonesia.
Winoto,
Joyo. 2008, Program Pembaruan Agraria
Nasional untuk Pengurangan
Kemiskinan di Indonesia. Jakarta:
BPN.
Wiradi,
Gunawan. 2009, Seluk Beluk Masalah
Agraria: Reforma Agraria dan
Penelitian Agraria. Penyunting:
Moh. Shohibuddin. Yogyakarta: STPN
Press.
Komentar
Posting Komentar