Politik
Identitas Di Era Millennial
Politik
identitas adalah kebangkitan baru dari gerakan perlawanan terhadap globalisasi.
Ketika globalisasi membuat batas batas antara negara, suku, ras semakin kabur
karena terkoneksi sedemikian dekat bagi sekelompok orang yang marginal atau
merasa termarginalisasi, maka batasan identitas itu penting untuk kembali
ditegakkan, untuk melindungi kepentingan, untuk menegaskan "who we
are". Penegasan dan pembedaan antara "kita" dan
"mereka". Meskipun demikian batas ini tidak pernah rigid atau kaku,
terutama saat digunakan untuk kepentingan politik. Seseorang yang secara
definitif adalah "orang luar" bisa dimasukkan dalam golongan
"kami" dengan mencari alasan alasan pendukung atau dengan tidak
mempertanyakannya sama sekali. Elitis akan mendiamkan dan mengaburkan dengan
isu lain dan pendukung akan mengiyakan saja tanpa kritik. Sejatinya
perkembangan politik dan perebutan kekuasaan tetap hanyalah perebutan antar
elit yang berada dan memiliki akses dalam sistem. Tidak pernah tentang
kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat. Merekalah yang menyetir sejarah. Mereka juga
menentukan strategi apa yang hendak mereka pakai dan seringkali yang paling
efektif adalah politik identitas atau politik ethnicity menurut samuel P.
huntington.
Salah satu anomali politik tahun
2017 yang paling mencuri perhatian datang dari Pemilukada Jakarta. Pada saat
itu, tensi politik benar-benar menemukan puncaknya. Terjadi turbelensi politik
begitu dahsyat, mengakibatkan goncangan hebat, bahkan merambah luas ke seluruh
penjuru Indonesia. Penggunaan isu-isu SARA; Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan
bergulir deras. Harapan menggeloranya demokrasi substantif seolah tinggal
mimpi, justru yang tampak adalah semakin mengaburnya demokrasi, dan bangkitnya
model politik identitas yang sengaja digulirkan oleh kelompok-kelompok
tertentu. Persoalan bertambah runyam, ketika kelompok yang memanfaatkan ruang
primordial tersebut berbangga diri. Alih-alih merasa bersalah, justru yang
tampak adalah sikap berbangga diri, bahkan dengan lantang melakukan pembenaran
melalui dasar-dasar teologis-kapitalistik yang telah direduksi sedemikian rupa.
Dengan realitas demikian, rasa-rasanya tidak berlebihan, jika ada yang menyebut
tahun 2017 sebagai era kembalinya politik primordial yang mengatasnamakan
identitas. Faktanya, menjelang akhir 2017, secara kasat mata dapat kita
saksikan isu-isu identitas kian ramai menyeruak. Berbagai pihak, khususnya
kalangan elite politik tertentu, kian matang dan piawai memanfaatkan situasi.
Sentimen-sentimen atas nama identitas menyebar luas ke ruang publik. Ironisnya,
masyarakat sebagai subjek politik acap menerimanya dengan sukarela. Bahkan
beberapa kelompok menyambutnya dengan gelora heroisme diri, yang kemudian
memolesnya dengan terma-terma pembelaan terhadap keyakinan, kebangkitan kaum
pribumi, perlawanan atas penjajahan ekonomi kelompok "asing-aseng".
Isu suku, agama dan ras (SARA)
dinilai bisa jadi menjadi ‘senjata’ untuk memenangkan Pilkada pada 2018. Hal
ini mengingat hal serupa sempat terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017. Indikasi
soal ini pun disampaikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga itu
menyatakan sejumlah kawasan rawan pada Pilkada Serentak 2018 antara lain adalah
Papua, Maluku dan Kalimantan Barat. Bawaslu menilai salah satu potensi kerawanan
di tiga wilayah tersebut ialah terkait penggunaan isu SARA. Direktur Eksekutif
Voxpol Center Reseach and Consulting Pangi Chaniago mengamini hal itu. Ia
menilai, isu SARA dalam Pilkada serentak 2018 masih menjadi komoditas penting
para kandidat untuk memenangkan kontestasi. Ia mengatakan, hal ini mudah untuk
membakar emosi masyarakat. “Politik identitas dan politik SARA akan tetap
dipakai di Pilkada 2018. Isu ini tetap akan dijadikan sebagai komoditas politik
dalam rangka mendulang elektoral, di semua daerah masih rawan isu ini,” ujar
Pangi saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Menurut Pangi, penggunaan isu SARA
dalam kontestasi politik tak bisa dilepaskan dari strategi kandidat dalam
membidik perilaku pemilih masyarakat. Dalam
ilmu politik dikenal tiga jenis pemilih yang ditemukan saat pemilihan,
yakni pemilih psikologis, sosiologis, dan rasional. Pangi beranggapan
penggunaan sentimen SARA oleh kandidat ampuh diberlakukan ketika perilaku
pemilih masih bersifat sosiologis. Pemilih ini akan memilih kandidat yang
memiliki kesamaan karakter dengannya. Faktor yang melingkupi adalah kesamaan
agama, daerah asal, ras dan asal usul. Isu SARA masih memainkan peranan penting
ketika perilaku pemilih masih bersifat sosiologis. Isu politik juga akan
dipaksakan digeser ke isu umat dalam rangka menyentuh sintemen pemilih
sosiologis tren perilaku pemilih masyarakat Indonesia saat ini masih didominasi
oleh pemilih sosiologis dibandingkan pemilih yang bersifat dan rasional.
Sementara pengamat politik Exposit Strategic Arif Sutanto mengatakan, Pilkada
DKI Jakarta awal tahun lalu dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi
keberlangsungan demokrasi di Pilkada serentak 2018. Pasalnya, Pilkada DKI
Jakarta telah menghadirkan politik kebencian berbasis identitas sebagai cara
untuk meraih kekuasaan. Arif khawatir hal tersebut bisa terjadi kembali di
Pilkada serentak 2018 dengan skala yang lebih besar. Kontribusi terbesar dari
Pilkada DKI Jakarta kemarin adalah lahirnya politik kebencian berbasis
identitas tampak kuat membelah masyarakat Jakarta. Saya khawatir ini menjadi
preseden buruk di 2018 dan 2019 mendatang,” ujar Arif. Kekhawatiran Arif cukup
berdasar. Pasalnya, penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) tentang Pilkada Jakarta 2017 menunjukkan adanya peningkatan
intensitas kampanye berbasis politik identitas, khususnya agama. Hasil riset
itu menyimpulkan, adanya kapitalisasi isu agama pada Pilkada Jakarta yang
terlihat dari masifnya pengerahan massa selama kampanye dan ujaran kebencian
yang menyitir ajaran agama. Pilkada serentak 2018 disebut merupakan pemanasan
menuju Pemilu 2019. Wilayah Pulau Jawa yang memiliki potensi suara besar
menjadi ajang pertarungan yang menentukan untuk Pilpres 2019. Pilkada serentak
2018 dapat disebut sebagai pemanasan menuju Pemilu 2019. Maka, daerah-daerah di
wilayah Jawa dengan potensi suara besar menjadi pertaruhan penting yang
potensial mengundang tegangan politik.
Dalam realitas politik Indonesia, kenyataan
ini menjadi angin segar bagi para politisi. Hal ini didukung oleh sejarah
perjalanan politik Indonesia, di mana kebanyakan politisi dari lintas ideologi
seringkali mendudukkan agama sebagai strategi polical marketing. Jika
mengikuti situasi politik saat ini, ada kecenderungan aspek emosional (agama)
masih akan memengaruhi jalannya sirkulasi politik ke depan. Bahkan, bukan suatu
yang mustahil jika nantinya akan banyak partai politik memanfaatkan (simbol)
agama. Itulah sebabnya, meski selama ini akrobat politik SARA beroperasi dalam
ruang terbuka, namun modus operandinya lebih dominan pada domain-domain
keagamaan. Di sini, mereka tahu dan paham betul, agama sebagai narasi agung
dapat memproduksi dan mereproduksi kekuasaan yang dahsyat untuk bisa
menghasilkan ketaatan dari para pemeluknya (Michel Foucault, 1975). Oleh
karenanya, adalah sebuah kecerobohan jika saat ini kita menaruh kepercayaan,
bahwa dalam perhelatan pesta demokrasi ke depan kontestasi politik kita akan
steril dari isu-isu sensitif. Yang kita rasakan saat ini, iklim demokrasi
mengalami gelombang pasang, baik di level daerah maupun nasional. Kondisi ini,
sesungguhnya berkelindan kuat dengan maraknya penggunaan simbol-simbol
identitas, utamanya yang berkaitan dengan dimensi agama. Pada batasan-batasan
tertentu, menggaet agama dalam dunia politik sesungguhnya sah-sah saja. Dengan
catatan, kehadiran agama murni ditujukan untuk membumikan nilai ajaran agama
itu sendiri. Sebaliknya, akan menjadi naïf jika agama sekadar menjadi
formalitas untuk kepentingan syahwat politik. Karena yang demikian hanya akan
menghadirkan kekacauan, dan pemberangusan hak asasi kelompok masyarakat
tertentu. Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan
keutuhan bangsa dan negara di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa
tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah
melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak
dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Komentar
Posting Komentar