Masih
kurang populernya calon DPD RI
Kehadiran
DPD membuat sistem politik Indonesia menjadi lengkap. Dalam sistem politik di
Indonesia ada dua macam bentuk keterwakilan. Keterwakilan rakyat melalui partai
politik (parpol) yang menjelma menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Akan tetapi, ada juga keterwakilan geopolitik atau teritorial yang
mewujud dalam DPD. Dalam pemahaman ini DPD memiliki posisi kelembagaan yang
seimbang dengan DPR.
Kedudukan,
peran, tugas pokok, dan fungsi anggota DPD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 C, 22 D, dan pasal 2 UUD 1945
merupakan badan negara yang tidak bersifat mandiri dalam arti yang lain DPD merupakan (semacam)
pelengkap dari DPR. Begitu pula dalam
kedudukan dan peran MPR, juga melengkapi MPR karena jumlahnya sepertiga dari
keseluruhan anggota MPR.
Dengan
legitimasi yang lebih kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 dan UU
Susduk justru memberikan kewenangan minimal kepada DPD. Dari sisi fungsi,
tugas, dan kewenangan, seperti terungkap pada UUD 1945 Pasal 22D, tampak bahwa
DPD hanya menjadi "subordinat" dari DPR. Di situ diatur bahwa DPD
"dapat mengajukan" kepada DPR dan "ikut membahas" RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah. Selain itu, DPD juga diberi sedikit peranan dalam pemilihan anggota
Badan Pemeriksa Keuangan, peranannya hanya memberi pertimbangan kepada DPR.
Kewenangan
DPD yang cukup lemah bila dibandingkan DPR akan menimbulkan kesulitan sendiri
bagi DPD untuk menjalankan fungsinya dalam menjaga hubungan pusat dan daerah
yang produktif. Kelemahan wewenang ini juga akan membuat kekuatan legitimasi
para anggota DPD yang lebih kuat bila dibandingkan anggota DPR tidak akan
mendorong terjadinya keseimbangan dalam lembaga perwakilan Indonesia. Lemahnya
fungsi, tugas, dan kewenangan DPD membawa akibat pada hubungan DPR dan DPD yang
semakin lama terlihat semakin tidak harmonis. Setelah DPR dituding tidak pernah
melibatkan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasiona (Prolegnas). Sehingga
kedudukan DPD dianggap tidak penting oleh masyarakat.
Sebagian
besar masyarakat menyangka bahwa pemahaman masyarakat terhadap DPD juga masih
ada yang salah kaprah. Sebab, di antaranya masih ada yang menganggap bahwa DPD
itu betransformasi menjadi DPRD. Bahkan masyarakat sangat minim pengetahuannya
tentang DPD. Jangankan informasi detail, sampai pada nama calon pun masyarakat
sangat minim yang mengenal DPD.
kondisi
itu disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti Pemilu serentak dengan Pileg. Hal
itu yang menyebabkan akhirnya masyarakat lebih fokus ke isu Pilpres. Jangankan
untuk calon DPD, masyarakat juga seakan tidak peduli terhadap caleg walaupun
alat kampanyenya bertebaran dimana-mana. Lalu, sosialisasi calon DPD yang
lemah. Baik yang dilaksanakan oleh KPU maupun mandiri
Padahal
anggota DPD dipilih dari masing-masing provinsi melalui pemilihan umum, dengan
jumlah yang sama untuk setiap provinsi, dan jumlah keseluruhan anggota dari
semua provinsi itu tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan anggota DPR. Memperjelas
ketentuan jumlah anggota, Pasal 33 ayat
(1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 menetapkan bahwa jumlah anggota DPD dari setiap provinsi
sebanyak 4 orang dan dalam ayat (2) kembali ditegaskan jumlah keseluruhan
anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Keberadaan
DPD masih belum populer di masyarakat. Utamanya, yang berkenaan dengan peran
dan fungsi DPD. Memang masyarakat pada umunya kurang begitu paham tentang peran
dan fungsi DPD, selama ini ketika memilih anggota DPD hanya melihat sebagai
popularitas atau kedekatan emosional, tapi untuk substansi tugas dan peran DPD
itu sendiri masyarakat kurang paham. Sangat sedikit sekali masyarakat yang
mengenal kelembagaan DPD apalagi ketika dihubungkan dengan fungsi dan perannya.
Sehingga suasana kontestasinya pun sangat hening. Dalam beberapa kasus,
kampanye DPD juga dilaksakan di last minute, baik melalui pesan berantai, pesan
di medsos, maupun pesan-pesan melalui kader .
Selama
ini DPD memang kurang bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk membereskan
persoalan yang lebih aktual. Padahal, menurutnya kemampuan untuk terjun ke
lapangan ada, hanya saja tidak dimaksimalkan. syarat dukungan dari 5 ribu KTP
di minimal di kabupaten kota, lalu lolos seleksi dan menjalankan sosialisasi,
KPU juga memerintahkan agar para calon anggota DPD untuk memberikan pemahaman
tentang peran dan fungsi DPD kepada masyarakat.
Rendahnya
pengenalan publik kepada calon senator terjadi karena beberapa sebab. Seperti
jumlah calon yang terlalu banyak, wilayah dapil yang terlalu luas dan tim
kampanye yang tidak merata di setiap daerah. dinamika Pileg DPD lebih sepi dari
pada Pileg DPR maupun Pilpres. Kondisi itu sudah terlihat sejak masa kampanye
dimulai. Baik pemasangan APK atau pertemuan tatap muka serta pertemuan terbatas
cenderung sepi. Padahal, fasilitasi kampanye semuanya sudah disediakan KPU
Sehingga
kedepannya perlu pemahaman mengenai fungsi dan peranan DPD kepada masyarakat.
Korelasi antara DPR, DPRD, dan DPD. Untuk mengetahui sejauh mana kewenangan DPD
dari lembaga lainnya. Supaya masyarakat masih menganggap urgensi adanya lembaga
DPD, sebagaimana peran DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
sesunguhnya untuk memimpin perubahan dari daerah.
Komentar
Posting Komentar