Pertanggungjawaban pidana adalah dipersalahkannya seseorang atas perbuatannya yang dapat dicela dan dikenakannya penderitaan yang sengaja dibebankan oleh negara kepada seseorang itu yang terbukti melakukan tindak pidana atau perbuatan tercela. Sehingga dijatuhkannya pidana kepada seseorang tersebut yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana merupakan wujud dari tanggungjawab pidana yang harus ia terima. Pertanggungjawaban pidana tidak bisa dipisahkan dari tindak pidana, demikian juga sebaliknya, suatu tindak pidana tidak bisa berdiri sendiri tanpa pertanggungjawaban pidana. Artinya, bahwa pertanggungjawaban pidana akan diberlakukan apabila atas orang yang akan dimintakan pertanggungjawaban pidana tersebut telah ada tindak pidana yang dilakukan. Demikian juga dengan tindak pidana, bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah memenuhi rumusan suatu ketentuan pidana, tidak dengan sendirinya langsung dapat dipidana, karena untuk dapat dipidananya seseorang harus ada pertanggung jawaban pidana.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagaimana dikemukakan di atas, pertanggungjawaban pidana sangat bergantung pada kesalahan dari pembuat (asas liability based on fault atau geen straf zonder schuld). Namun, pertanggungjawaban pidana bagi korporasi sedikit ada penyimpangan dari teori pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai unsur “kesalahan“ dalam pertanggungjawaban korporasi tidak lah mutlak diberlakukan, meskipun adanya kesalahan harus tetap diperhatikan dalam persoalan ini. Dalam doktrin pertanggungjawaban pidana, dikenal adanya strict liability atau tanggung jawab mutlak. Menurut doktrin ini, apabila seseorang (korporasi) menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai extrahazardous atau ultrahazardous atau abnormally dangerous, maka ia wajib memikul segala kerugian yang ditimbulkan walaupun ia sudah bertindak sangat hati-hati atau tidak ada kesalahan (Santosa, 1998: 3). Doktrin tersebut merupakan bentuk penyimpangan atau pengecualian dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Pemberlakuan doktrin strict liability atau liability without fault dalam hukum pidana (khususnya dalam konteks pertanggungjawaban korporasi) didasarkan pada besarnya kerugian yang timbul dan pemberatan pidana atau penjeraan atas tindakan korporasi, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh korporasi.
Mengenai hal ini, banyak sependapat dengan pendapat Muladi dan Dwija Priyatno (1991: 87) yang menyatakan bahwa: “Dalam masalah pertanggungjawaban pidana, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan atau “asas tidak ada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, bahwa fakta sudah berbicara sendiri.
Dalam doktrin strict liability dikemukakan adanya prinsip tanggung jawab tanpa harus membuktikan adanya kesalahan, tidak terlalu penting untuk mempermasalahkan apakah kenyataannya ada kesalahan atau tidak. Menurut doktrin ini seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Sehingga secara singkat, strict liability diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Hamzah Hatrik (1996: 110) menilai bahwa dalam pertanggungjawaban korporasi, si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan yang dilaranag sebagai telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin dari si pelaku (korporasi) tersebut. Persoalan lebih lanjut, mengapa pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dapat diberlakukan dalam perkara kejahatan korporasi ?
Doktrin-Doktrin dalam Teori Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi, awalnya dikenal ada dua macam doktrin yaitu doktrin strict liability (tanggung jawab ketat atau tanggung jawab mutlak) dan doktrin vicarious liability (tanggung jawab pengganti). Namun karena persoalan pertanggungjawaban korporasi sedapat mungkin harus mempertimbangkan unsur kesalahan, maka sebagaimana dijelaskan oleh Muladi (2004: 6), muncul teori baru yang diperkenalkan oleh Viscount Haldane yang dikenal dengan “Theory of primary corporate criminal liability” yang kemudian terkenal dengan sebutan “Identification Theory”.
Dengan demikian maka dikenal ada tiga doktrin pertanggungjawaban korporasi yang masing-masing memiliki ciri dan pandangan yang berbeda. Masing perbedaan pandangan ketiga doktrin tersebut adalah:
1. Doktrin Identification Theory
Doktrin ini memandang bahwa perbuatan/delik dan kesalahan/sikap batin pejabat senior dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin perusahaan. Unsur-unsur tindak pidana dapat dikumpulkan dari perbuatan dari sikap batin dari beberapa pejabat senior (Priyatno, 2004: 90). Atas dasar teori identifikasi ini, maka semua tindakan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang dapat diidentifikasikan dengan organisasi/korporasi atau mereka yang disebut “who constitute its directing mind will of the corporation” (yaitu individu-individu seperti para pejabat atau pegawai yang mempunyai tingkatan manajer, yang tugasnya tidak dibawah perintah atau arahan atasan dalam organisasi), dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian, pertanggungjawaban korporasi tidak didasarkan atas konsep pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).
2. Doktrin Vicarious Liability
Vicarious liability dapat diartikan bahwa seseorang yang tidak memiliki kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain, atau dalam beberapa sumber sering disingkat dengan sebutan “pertanggungjawaban pengganti.” Pertanggungjawaban seperti ini hampir semuanya ditujukan pada delik dalam undang-undang (statutory offences).
3. Doktrin Strict Liability
Dalam doktrin strict liability, pertanggungjawaban tidak harus mempertimbangkan adanya kesalahan. Karena dalam pertanggungjawaban korporasi, mengenai asas kesalahan tidaklah mutlak berlaku. Seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang tersebut tidak ada kesalahan (mensrea).
Model-Model Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Model-model dan sistem pertanggungjawaban jawaban korporasi tidak lepas dari dua subyek yang melekat pada kejahatan korporasi, yaitu orang sebagai pengurus dan korporasi itu sendiri. Sehingga terkait dengan kedudukan korporasi sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi di atas, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi (Reksodiputro,1994: 72, Muladi dan Priyatno, 1991: 67-68), yaitu:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
2. Korporasi sebagai pembuat, dan penguruslah yang bertanggungjawab;
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Selain itu, dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.
Pada model pertanggungjawaban yang pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, masih menerima asas societas/universitas delinquere non potest. Pada model ini korporasi tidak akan bisa dipertanggungjawabkan, karena korporasi tidak bisa dipersalahkan atas perbuatan tercela dari pengurus atau karyawannya. Pemikiran ini sebagaimana disampaikan Schaffmeister dkk (1995: 272-273). bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan. Pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum tidak berlaku pada lapangan hukum pidana.
Sementara pada model yang kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab. Menurut Priyatno (2004: 55), yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah “onpersoonlijk”. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Model ini sudah tidak mempertimbangkan adanya asas kesalahan (mens rea) dalam perbuatan pidana untuk dapat dipertanggungjawabkannya pengurus suatu korporasi (vicarious liability).
Sedangkan model yang ketiga, dimana korporasi yang berbuat dan korporasi yang bertanggungjawab, memandang bahwa ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana dalam pertanggungjawaban kejahatan korporasi ternyata tidak cukup. Oleh karena itu, dimungkinkan pula untuk memidana korporsi dan pengurus sekaligus. Hal itu selaras dengan ketentuan dalam Pasal 15 Undang undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Pembenaran korporasi dapat dipertanggungjawabka nmenurut Muladi didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;
2. Atas dasar asas kekeluargaan;
3. Untuk memberantas anomie of succes (sukses tanpa aturan);
4. Untuk kemajuan teknologi (Hatrik, 1996: 36).
Selain itu, model yang ketiga ini juga didasarkan pada pandangan bahwa jelas korporasi adalah pelaku fungsional dan menerima keuntungan dari berbagai kegiatan termasuk yang bersifat pidana. Dan apabila tanpa tanggung akibat pidana korporasi, maka akan terdapat kekosongan pemidanaan jika korporasi adalah pemilik atau pemegang izin.
Analisis kasus Trail Smelter Trail Smelter Case 1941 ( Kasus Trail Smelter 1941 ), berawal dari permasalahan pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur dioksida , menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air, dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya. Amerika Serikat kemudian melakukan klaim terhadap Kanada dan meminta Kanada bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita Amerika Serikat (AS). Setelah melakukan negosiasi, kedua negara...
Komentar
Posting Komentar