Pada saat bentuk-bentuk malpraktek dari sudut etik kedokteran seperti yang dikemukakan di atas benar-benar terjadi, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang berlaku, maka tenaga kesehatan yang terbukti melakukan malpraktek kedokteran dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Apabila malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih dalam taraf pelangaran etik, maka tenaga kesehatan tersebut akan dikenakan sanksi administratif berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009.
b. Apabila malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mengakibatkan kematian pasien, maka tenaga kesehatan tersebut dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 359 KUHP.
c. Apabila malpraktek dilakukan oleh tenaga kesehatan mengakibatkan luka-luka berat bagi pasien, maka tenaga kesehatan tersebut dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 360 KUHP.
d. Apabila malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mengakibatkan kerugian bagi pasien dan walaupun tidak sampai mengakibatkan kematian maupun luka berat, akan tetapi pasien tersebut berhak menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367 KUHPerdata.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, diharapkan tidak ada kasus-kasus malpraktek yang lolos dari jeratan hukum.
Mengingat perjanjian yang terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien adalah inspanningsverbintenis yaitu berdasarkan pada usaha yang maksimal, maka apabila pasien menuntut tenaga kesehatan atas kerugian yang dideritanya, pasien yang bersangkutan itulah (penggugat) yang harus mengajukan bukti-bukti agar dapat diketahui ada atau tidaknya kesalahan tenaga kesehatan sebagai pihak tergugat.. Salah satu bukti yang dapat diajukan oleh pasien adalah rekam medis. Dari rekam medis pasien dapat diketahui apakah tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi medis, ataukah justru memenuhi unsur-unsur kesalahan.
Dapat dijadikannya rekam medis sebagai alat pembuktian dalam perkara malpraktek kedokteran dikarenakan rekam medis memuat catatan-catatan mengenai hasil pemeriksaan fisik, seluruh tindakan medis, serta pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh pasien selama pasien menjalani perawatan di sarana pelayanan kesehatan, di mana kesemuanya itu ditulis oleh tenaga kesehatan berdasarkan apa yang diketahuinya sesuai pengetahuan dan keahlian yang dimiliki dalam menjalankan profesinya. Untuk menunjang fungsinya sebagai alat bukti, dalam pengisian rekam medis, tenaga kesehatan diwajibkan untuk mengisi selengkap-lengkapnya dan membubuhkan tanda tangan demi menjamin keakuratan suatu rekam medis yang dibuat. Apabila uraian-uraian di atas dikaitkan dengan Pasal 184 ayat (1) tentang macam-macam alat bukti, yaitu yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, maka dapat diketahui bahwa rekam medis memiliki fungsi ganda dalam kedudukannya sebagai alat bukti.
Rekam medis dapat dianggap sebagai alat bukti keterangan ahli sekaligus sebagai alat bukti surat. Sebagai alat bukti keterangan ahli, rekam medis dapat diberikan atas permintaan penyidik pada taraf penyidikan. Permintaan penyidik yang dimaksud tentunya disertai dengan kuasa tertulis dari pasien. Atas permintaan penyidik ini, tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas rekam medis seorang pasien tertentu dapat memberikan fotocopy rekam medis pasien tersebut atau membuat laporan tertulis berupa resume dari apa yang tercantum dalam rekam medis. Baik rekam medisnya sendiri maupun resume atas rekam medis tersebut telah dibuat oleh tenaga kesehatan dengan mengingat sumpah pada waktu tenaga kesehatan tersebut menerima jabatan.
Dengan tata cara dan bentuk laporan tenaga kesehatan yang demikian tersebut, yaitu keterangan yang dituangkan dalam rekam medis maupun resumenya, telah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Rekam medis juga dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah karena rekam medis memenuhi syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai surat menurut Pasal 187 KUHAP, di antaranya dibuat di atas sumpah jabatan.
Sesuai dengan sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, rekam medis dalam kedudukannya sebagai alat bukti (baik sebagai alat bukti keterangan ahli maupun sebagai alat bukti surat), tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Atau dengan kata lain rekam medis mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang "bebas".
Rekam medis dapat melindungi minat hukum (legal interest) pasien, rumah sakit, dan dokter serta staff rumah sakit bila ketiga belah pihak melengkapi kewajibannya masing-masing terhadap berkas rekam medis.
a. Rekam medis sebagai alat bukti
Rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di pengadilan.
b. Kerahasiaan rekam medis
Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan kerahasiaan yang menyangkut riwayat penyakit pasien yang tertuang dalam rekam medis. Rahasia kedokteran tersebut dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasia kedokteran (isi rekam medis) baru dapat dibuka bila diminta oleh hakim majelis di hadapan sidang majelis. Dokter dan dokter gigi bertanggung jawab atas kerahasiaan rekam medis sedangkan kepala sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab menyimpan rekam medis.
c. Sanksi hukum
Dalam Pasal 79 UU Praktik Kedokteran secara tegas mengatur bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Selain tanggung jawab pidana, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis juga dapat dikenakan sanksi secara perdata, karena dokter dan dokter gigi tidak melakukan yang seharusnya dilakukan (ingkar janji/wanprestasi) dalam hubungan dokter dengan pasien.
d. Sanksi disiplin dan etik
Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat sanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin MKDKI dan MKDKIP, ada tiga alternatif sanksi disiplin yaitu:
1. Pemberian peringatan tertulis.
2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain sanksi disiplin, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG).
Analisis kasus Trail Smelter Trail Smelter Case 1941 ( Kasus Trail Smelter 1941 ), berawal dari permasalahan pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur dioksida , menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air, dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya. Amerika Serikat kemudian melakukan klaim terhadap Kanada dan meminta Kanada bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita Amerika Serikat (AS). Setelah melakukan negosiasi, kedua negara...
Komentar
Posting Komentar